Pages

Jumat, 08 Juni 2012

Menjurnal Selisih Kelebihan Pembayaran Piutang Dagang


Yang saya maksudkan dengan “selisih kelebihan pembayaran piutang dagang” dalam tulisan ini adalah: pelanggan (atau pembeli) membayar lebih dari tagihan yang kita kirimkan. Misalnya: PT. JAK memiliki piutang dagang (tagihan) sebesar Rp 4,500,000 kepada PT. ABC, tetapi entah mengapa PT. ABC membayar Rp 5,000,000, sehingga terjadi selisih kelebihan pembayaran piutang dagang sebesar Rp 500,000. Bagimana menjurnal selisih kelebihan pembayaran piutang dagang tersebut?
Ini model transaksi pembayaran piutang dagang yang mestinya jarang terjadi, tetapi pada kenyataannya di lapangan, rupanya banyak terjadi. Hal itu bisa saya lihat dari seringnya muncul pertanyaan yang sama—sejak tahun 2005 dan terus berulang hingga saat ini.
Yang sedikit mengagetkan saya adalah, adanya pendapat yang dengan serta-merta mengatakan bahwa:
Selisih pembayaran yang diterima dicatat sebagai Pendapatan Lain-Lain.”
Misalnya: Seperti contoh di awal tulisan, mereka yang berpendapat demikian menyarankan agar selisih yang Rp 500,000 tersebut diakui sebagai “Pendapatan Lain-Lain” sehingga jurnal atas penerimaan pembayaran tersebut menjadi:
[Debit]. Kas = Rp 5,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang – PT. ABC = Rp 4,500,000
[Kredit]. Pendapatan Lain-lain = Rp 500,000
Apakah jurnal itu benar? Lebih spesifiknya: apakah selisih kelebihan pembayaran piutang dagang boleh diakui sebagai pendapatan lain-lain?
Sayang sekali, tidak ada standar akuntansi yang secara ekplisit menyebutkan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh diakui sebagai pendapatan. PSAK 23 misalnya, hanya menyebutkan:

Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.”

IAS 18 juga menyebutkan hal yang serupa (“Revenue is income that a company receives from its normal business activities, usually from the sale of goods and services to customers.”)
Dari kedua definisi tersebut, mari kita uji apakah selisih pembayaran piutang dagang memenuhi kriteria pendapatan atau tidak:
  • Pengujian-1. “Arus masuk bruto” – Apakah selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut adalah arus masuk bruto? IYA.
  • Pengujian-2. “Dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas” – Apakah selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut timbul dari aktivitas normal entitas (perusahaan)? TIDAK, melainkan timbul dari aktivitas tidak normal yaitu kesalahan pembayaran oleh pelanggan.
  • Pengujian-3. “Jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas” – Apakah selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas (modal)? IYAuntuk sementara—jika diakui sebagai pendapatan.


Di pengujian pertama lolos. Di pengujian kedua tidak lolos, tetapi karena tidak berasal dari aktivitas normal entitas, maka SEPERTINYA bisa dimasukan ke dalam kelompok “Pendapatan Lain-Lain,” mungkin (ini baru mungkin lho.) Di pengujian ketiga, tidak lolos karena kenaikan ekuitas terjadi masih bersifat sementara (sampai kelebihan tersebut dikembalikan ke pelanggan).
Dari ketiga pengujian di atas, terus-terang saja, saya tidak bisa menarik kesimpulan apapun. Mereka yang membuat PSAK 23 mungkin tahu persis apa yang bisa disebut dengan “aktivitas entitas normal” dan apa yang tidak, tetapi sayang sekali tidak secara ekplisit menyebutkan apakah selisih kelebihan pembayaran piutang bisa dianggap sebagai arus bruto dari aktivitas normal atau tidak.
Dalam praktek akuntansi sehari-hari, pendapatan yang tidak berasal dari aktivitas normal biasanya diakui sebagai “Pendapatan Lain-lain,” IYA. Namun sejauh yang pernah saya lihat (dan ini dibolehkan oleh Ditjend Pajak), yang diakui sebagai pendapatan lain-lain adalah:
  • Pendapatan Atas Bunga Jasa Giro (bunga yang diperoleh dari bank atas rekening giro)
  • Penjualan aktiva Tetap
  • Pendapatan Jasa pada perusahaan non-jasa
  • Pendapatan Komisi pada perusahaan non-agen
  • Penjualan barang pada perusahan non-dagang.
Saya BELUM pernah menemukan pendapatan lain-lain yang berupa selisih kelebihan pembayaran piutang dagang. Di sisi lainnya saya yakin kasus seperti ini cukup sering terjadi, akan tetapi kemungkinan besar selisih tersebut tidak pernah diakui sebagai pendapatan lain-lain.
Sekalilagi, dari standar akuntansi saya tidak menemukan jawaban yang gamblang apakah selisih kelebihan pembayaran piutang dagang boleh atau tidak boleh diakui sebagai pedapatan lain-lain. Bisa dibilang BUNTU. Tidak ada simpulan yang pasti. Mungkin itu sebabnya mengapa sampai saat ini kasus tersebut masih saja menjadi bahan pertanyaan—setidaknya bagi sebagian orang accounting.
Melalui tulisan ini, ijinkan saya mengemukakan pendapat pribadi (di luar standar-standar yang ada)—yang tentu saja tidak harus anda setujui atau ikuti.
Saya memandang persoalan ini dengan menggunakan pendekatan yang agak berbeda, yaitu: dari aspek “hak” dan “kewajiban.” Dan, saya punya dasar pertimbangan—yang menurut saya cukup kuat—mengapa saya menggunakan pendekatan hak-dan-kewajiban (silahkan sampaikan pendapatnya jika anda pikir argument saya tidak cukup kuat atau bahkan keliru.)
Apa dasar pertimbangannya?
Setiap transaksi dagang (baik yang komoditinya berupa produk maupun jasa,) pada dasarnya adalah proses pertukaran “hak” dan “kewajiban” atas sesuatu yang dipertukarkan (diperjualbelikan).
Misalnya:
Anda pedagang komputer. Suatu ketika ada penjualan satu unit komputer kepada pelanggan A. Sebelum komputer diserahkan, “hak” kepemilikan atas komputer tersebut ada pada anda. Begitu komputer tersebut diserahkan (atau dikirimkan) kepada pelanggan A, maka hak kepemilikan atas komputer tersebut berpindah dari tangan anda ke tangan pelanggan A. Sebagai imbal-balik atas penyerahan hak kepemilikan komputer tersebut anda “berhak” untuk menerima kas—bila penjualan tunai, atau piutang (alias tagihan) bila penjualan kredit.
Inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa pengakuan pendapatan (revenue recognition) hanya boleh dilakukan bila pendapatan:
(a) sudah terbentuk secara sempurna; dan
(b) dapat diukur dengan akurat
Kapan suatu pendapatan dikatakan terbentuk secara sempurna? Pada saat hak kepemilikan atas komoditi (barang/jasa) yang diperdagangkan berpindah dari penjual ke pembeli (bukan pada saat pembayaran.)
Dengan menggunakan pendekatan ‘hak-dan-kewajiban’ ini, saya melihat: “pendapatan”—apapun jenisnya—adalah “hak” (earned) sebagai imbal-balik atas barang/jasa/pemberian value-added yang diserahkan kepada pihak pelanggan atau pembeli.
Nah pertanyaannyaApakah selisih lebih pembayaran piutang dagang yang diterima bisa disebut sebagai “hak”?
Jelas, TIDAK. Justru malah “kewajiban”—yang suatu saat nanti harus dikembalikan kepada yang punya hak, yaitu pelanggan. Sehingga akan menjadi lebih masuk akal bila diakui sebagai “utang.”
Oleh karena itu jurnal yang lebih masuk akal (menurut saya) adalah:
[Debit]. Kas = Rp 5,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang – PT. ABC = Rp 4,500,000
[Kredit]. Utang Lain-lain – PT. ABC = Rp 500,000
Pada saat kelebihan pembayaran itu dikembalikan jurnalnya:
[Debit]. Utang Lain-lain – PT. ABC = Rp 500.000
[Kredit]. Kas = Rp 500,000
Pengakuan atas selisih kelebihan pembayaran piutang dagang sebagai “utang” juga lebih memenuhi prinsip kehati-hatian (conservatism principle) yang pada dasarnya memandatkan agar: “Akativa tidak lebih diakui (overstated), dan kewajiban tidak kurang diakui (understated).”
Alternative lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengkonpensasikan selisih kelebihan pembayaran tersebut ke pembelian berikutnya (jika pelanggan setuju). Jika alternative ini yang dilakukan maka selisih pembayaran tersebut diakui sebagai “Piutang” bernilai negative, sehingga jurnal atas pembayaran tersebut menjadi:
[Debit]. Kas = Rp 5,000,000
[Debit]. Piutang Dagang – PT. ABC = Rp (500,000)
[Kredit]. Piutang = Rp 4,500,000
Dengan pengakuan piutang bernilai negative ini, maka saldo buku besar piutang terhadap PT. ABC, untuk sementara, akan bersaldo negative sebesar selisih pembayaran tersebut, yaitu Rp 500,000. Pada saat ada penjualan kepada PT. ABC lagi, di masa yang akan datang, maka otomatis saldo piutang dagang kepada PT. ABC menjadi berkurang sebesar Rp 500,000 (artinya terkompensasi)
Bagimana jika selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut tidak dikembalikan?” Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Saya tidak menemukan alasan mengapa perusahaan ingin memiliki sesuatu yang bukan hak-nya.
Masalahnya, yang punya uang sudah meninggal atau perusahaannya sudah tidak ada lagi.”
Kalau memang demikian adanya, kembalikan kepada ahli warisnya, atau pemiliknya (jika perusahaannya sudah bangkrut). Bagaimana jika yang berhak tidak bisa ditemukan? Bayarkan kepada panti asuhan atau siapa saja yang dianggap kurang mampu.
Atau, jika merasa nyaman menyimpan selisih kelebihan pembayaran piutang dagang tersebut, silahkan diakui sebagai pendapatan. Pada titik ini, secara teknis bisa dibilang kondisinya sudah sempurna untuk diakui sebagai pendapatan, monggo. Sekalilagi jika merasa nyaman.

sumber http://jurnalakuntansikeuangan.com
»»  READMORE...

Bagaimana Mencatat Pengeluaran Sebelum Perusahaan Beroperasi?


Ini sudah menjadi persoalan jamak bagi teman-teman di accounting yang kebetulan menangani perusahaan-perusahaan yang menjelang atau baru akan beroperasi: bingung mengenai bagaimana caranya mencatat pengeluaran-pengeluaran sebelum perusahaan beroperasi.
Pengeluaran-pengeluaran sebelum perusahaan beroperasi kerap terjadi. Mulai dari pengeluaran-pengeluaran untuk urusan riset pasar, bayar konsultan, mencari lokasi usaha, perjanjian-perjanjian, akte notaris, pembukaan rekening, hingga mengurus perijinanan.
Memang tidak banyak orang yang sungguh-sungguh paham mengenai hal ini. Bahkan konsultan sering memberi advise yang terkesan menggampangkan—hanya karena tidak mau pusing. Saya selalu suka ide penyederhanaan—mempermudah dan mempersingkat, dan sejnisnya. Siapa yang tidak suka dengan sesuatu yang mudah, cepat, dan efektif?
Hanya saja, tidak semua hal bisa disederhanakan, apalagi penyederhanaan yang hanya bersifat solusi sesaat—namun berbuntut pusing di kemudian hari. Bayangkan jika prosedur operasi (bedah) otak dari yang seharusnya 25 disederhanakan menjadi 15 langkah. Atau, prosedur merakit bomb dari yang seharusnya 30 disederhanakan menjadi 5 langkah saja. Apakah itu bagus?
Prosedur akuntansi tentu tidak serumit bedah otak, juga tidak seseram merakit bomb. Tetapi ada hal-hal yang jika disederhanakan bisa berbuntut ledakan masalah dikemudian hari yang efeknya mungkin tidak kalah dahsyat dengan bomb—terutama hal-hal yang ada kaitannya dengan ‘hak-dan-kewajiban’, terlebih-lebih masalah uang, masalah bisnis. Buntutnya bisa masuk bui atau bayar ganti rugi—sama seperti dokter yang melakukan maal praktek atau orang yang meledakan bomb sembarangan, bisa masuk penjara kan?
Untuk itu, kepada rekan-rekan di accounting saya selalu menyarankan agar jangan membiasakan diri mengambil ‘jalan pintas’ (instant), pergunakan logika, pahami persoalannya, lalu cari solusi terbaik. Tidak ada salahnya pusing-pusing sedikit, hitung-hitung untuk memetangkan pengetahuan. Otak yang jarang dipakai lama-lama akan tumpul, iya kan?
Kembali ke persoalan utama, yaitu: pengeluaran-pengeluaran sebelum perusahaan beroperasi. Untuk sungguh-sungguh memahami persoalan ini, ada beberapa aspek mendasar yang musti diketahui terlebih dahulu, antara lain:
  • Aspek akuntansi—sudah pasti
  • Aspek perpajakan—juga sudah pasti
  • Aspek legal (hukum), terutama sekali terkait dengan badan usaha—prosedur akuntansi dan perpajakan patokan dasarnya memang masalah legalitas.
Dalam artian, mau dicatat (diperlakukan) seperti apapun tak masalah, sepanjang ketiga aspek itu tidak dilanggar—accountable sekaligus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Mengapa sangat terkait dengan persoalan legalitas (hukum)? Karena pendirian usaha pada dasarnya bukan hanya sekedar event (kejadian) ekonomis. Melainkan sekaligus merupakan kejadian hukum. Tentu harus sangat memperhatikan aspek hukum, dalam hal ini.
Lalu bagimana cara mencatatnya? Dari tadi koq ceramah melulu?” mungkin ada yang berpikir seperti itu. Oke. Pindah ke paragraf selanjutnya…


Cara Menentukan Apakah Pengeluaran Masuk Buku Perusahaan Atau Tidak

Sebelum berpikir tentang bagaimana mencatat pengeluaran pra-operasi (pre-operation), ada satu pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu: Bentuk badan usahanya apa? Usaha dagang (UD milik perseorangan)? CV (persekutuan)? atau Perseroan Terbatas (PT)?
Jika itu usaha perseorangan, berarti tidak jadi masalah mau dicatat seperti apa saja silahkan, yang penting jelas dan bisa dipahami. Saya katakan boleh-boleh saja karena perusahaan perseorangan sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk membuat pembukuan (kecuali untuk urusan cari kredit bank).
Tetapi jika bentuk badan usahanya adalah persekutuan/kongsi (CV misalnya) atau Perseroan Terbatas, nah ini tidak boleh main catat saja. Segala sesuatunya musti jelas, karena memang ada peraturan yang harus ditaati. Ada hak-dan-kewajiban antar anggota persekuan (atau pemegang saham) yang berpotensi menjadi sengketa di kemudian hari jika tidak tercatat dengan baik—sesuai aturan yang ada.

Catatan: Adanya potensi sengketa itulah mengapa perusahaan persekutuan dan perseroan terbatas TIDAK BOLEH mencampur-adukan antara keuangan pribadi dengan keungan perusahaan.


Hubungannya dengan mencatat transaksi apa?” pasti ada yang ingin bertanya seperti itu.
Nah ini dia yang sering saya sebut “orang accounting yang cuma mau jadi tukang jurnal”. Kalau tidak mau diberi julukan seperti itu ya tunjukan bahwa sebutan itu tidak benar. Untuk menunjukan itu, pahami dahulu persoalannnya—jangan mau main catat saja. Kalau main catat saja, nanti ditanya “apa yang dicatat?”-pun tidak tahu, bukan cuma susah naik gaji, tapi juga memalukan. Benar tidak?
Inilah inti masalah pencatatan pengeluaran-pengeluaran sebelum operasi, yaitu: apakah pengeluaran tersebut masuk beban perusahaan yang akan dioperasikan atau tidak? Dengan kata lain, apakah boleh dimasukan ke dalam buku perusahaan atau tidak?
Jawabannya: TERGANTUNG (bukan tergantung pada cantolan lho). Maksud saya, tergantung:
  • Tanggal Transksi
  • Tanggal Pendirian perusahaan
  • Pengluaran Untuk Keperluan Apa—terkait urusan apa

Ada beberapa langkah yang harus dilalui untuk tahu persis cara mencatat pengeluaran-pengeluaran sebelum operasi:
  • Langkah-1. Kumpulkan nota-notanya dan buat daftar – Catat di Excel saja dahulu (tanggal berapa, transaksi apa, untuk urusan apa, nilai transaksinya berapa), dibuatkan daftar juga boleh. Ingat: pengeluaran tanpa bukti transakasi jangan diterima. Katakan sama bossnya, jika mau dicatat harus ada bukti transaksi.
  • Langkah-2. Minta photo copy akte pendirian perusahannya – Cari TANGGAL PENDIRIAN perusahaan.
  • Langkah-3. Bandingkan tanggal transaksi dengan tanggal pendirian perusahaan – Buat 2 kelompok: mana pengeluaran yang tanggal notanya SEBELUM tanggal pendirian perusahaan, dan mana yang SESUDAH-nya.
  • Langkah-4. Tentukan mana yang masuk buku mana yang tidak – Nota yang tanggalnya SESUDAH tanggal pendirian perusahaan masuk ke buku perusahaan, sedangkan yang SEBELUM? Masih tanda tanya. Tahan dahulu.

Dari keempat langkah di atas, pasti sudah bisa diketahui yang mana masuk ke buku perusahaan. Bukan hanya itu, tetapi di mata atasan (boss) anda terlihat sebagai orang yang sungguh berhati-hati, sekaligus bertanggung-jawab. Pantas dipercaya untuk urus uang perusahaan. Selanjutnya tinggal membuat jurnalnya. Lanjut….

Membuat Jurnal Pengeluaran Sebelum Perusahaan Beroperasi

Sudah tahu prosedur menjurnal? Jika masih ragu-ragu (atau sekedar penasaran) silahkan baca tulisan saya sebelumnya mengenai “Cara Mudah Membuat Jurnal”. Ada baiknya jika saya ulang sedikit:
Mau membuat jurnal:
Langkah-1. Kumpulkan nota – yang ini sudah dilakukan tadi
Langkah-2. Analisa isi bukti transaksi – Transksi apa, untuk keperluan apa, sehingga tahu akan masuk akun apa. Dalam kasus ini, yang namanya pengeluaran kemungkinnnya hanya 2:
  • Dibiayakan secara bertahap melalui pengalokasian—masuk kelompok aktiva (aset) dahulu.; atau
  • Dibiayakan sekaligus—alias masuk kelompok biaya

Langkah-3. Buat Jurnal – Sekalilagi, khusus dalam kasus ini, ada dua kelompok pengeluaran saja, yaitu:
(1). Untuk pengeluaran yang ADA kaitannya dengan peroleh (pembelian) aktiva tetap, sudah pasti masuk ke kelompok aktiva tetap. Jika itu biaya perolehan (pembelian) aktiva ya catat sebagai aktiva—termasuk pengeluaran yang terkait dengan perolehan aktiva. Misalnya:
Bayar notaris untuk pembuatan akte sewa tempat usaha selama 5 tahun, ada kaitannya dengan aktiva tak berwujud (Hak Sewa) sehingga dicatat sebagai aktiva dengan jurnal:
[Debit]. Hak Sewa = xxxx
[Kredit]. Kas = xxxx
Atau bayar tukang instalasi listrik, ada kaitannya dengan aktiva bangunan, maka dicatat sebagai penambah aktiva bangunan, dengan jurnal:
[Debit]. Aktiva – Bangunan = xxxx
[Kredit]. Kas = xxxx
Atau memperluas tempat parkr, ada kaitannya dengan perolehan bangunan juga dicatat ke aktiva bangunan. Dan yang sejenisnya.
(2) Sedangkan untuk pengeluaran-pengeluran yang TIDAK ada kaitannya dengan perolehan aktiva tetap, maka masuk kelompok BIAYA? Jawabannya: “Iya”. TETAPI, karena perusahaan belum beroperasi—masih dalam persiapan, maka TIDAK BISA dibiayakan pada saat itu juga. Kenapa? Jangan lupa: matching principle—setiap biaya harus bisa dihubungkan dengan pendapatan yang akan timbul. Dalam hal ini, karena perusahaan belum beroperasi berarti pendapatannya belum ada, sehingga biayanya belum bisa dihibungkan dengan pendapatan. Artinya: Biaya belum boleh diakui sebagai biaya.
Lalu diakui sebagai apa?” Buat akun ‘Biaya Dibayar Di Muka’ sering disebut ‘Prepaid’. Walaupun sebutannya ‘Biaya Dibayar Dimuka’ ini bukan kelompok akun di Lapora Laba Rugi, melainkan masuk kelompok Neraca (biasanya ditempatkan satu baris di bawah kelompok Piutang). Jurnalnya:
[Debit]. Biaya Dibayar Di Muka – Listrik = xxxx (masuk ke Neraca)
[Kredit]. Kas = xxxx
Nah, nanti jika perusahaan sudah mulai beroperasi baru dipindahkan ke kelompok biaya—alias dibiayakan, dengan jurnal:
[Debit]. Biaya Listrik = xxxx (masuk Laporan Laba Rugi)
[Kredit]. Biaya Dibayar Di Muka – Listrik = xxxx
Dengan begitu, maka saldo akun ‘Biaya Dibayar Dimuka’ akan menjadi nol (terhapus).

Tips: Jika saldo akun ‘Biaya Dibayar Dimuka’-nya cukup besar—karena proses persiapan operasinya cukup lama, maka biayakan secara bertahap, tidak apa-apa. Yang penting terus dibiayakan setiap bulan hingga saldonya bernilai nol.

Bagaimana sampai di sana?
Oke. MASIH ada satu hal yang mengganjal, ingat tadi ada pengeluaran-pengeluaran SEBELUM tanggal pendirian perusahaan, bukan? Bagaimana nasibnya?

Cara Menangani Pengeluaran Sebelum Tanggal Pendirian Perusahaan

Bicarakan dengan pimpinan perusahaan. Sampaikan sama beliau, karena itu pengeluaran terjadi sebelum tanggal pendirian maka tidak bisa diakui sebagai pengeluaran perusahaan. Jika beliau memaksa harus dimasukan, saya ada trick-nya:
Biasanya ada hubungannya dengan perolehan Aktiva. Jika iya, masukan ke Aktiva tetapi lawannya JANGAN kas, melainkan ‘Modal’. Artinya: pengeluaran tersebut dianggap sebagai modal (modal bentuknya tidak selalu dalam kas, aktiva tetap juga boleh).
Masalahnyaapakah pemegang saham lainnya setuju? Apakah jumlah setoran modal di akte pendirian perusahaan bisa diubah? Nah, sampaikan hal itu pada pimpinan: Apakah beliau bersedia membuatkan akte perubahan?
Itu sebanya tadi saya menekankan aspek legalitas (hukum) karena ada kaitannya dengan ‘hak-dan-kewajiban’ anggota persekutuan.
Jika nilainya cukup besar, mungkin beliau bersedia, ya tidak apa-apa, malah bagus. Justru inilah yang paling benar. Tetapi kalau nilainya kecil, sudah pasti beliau tidak bersedia. Kalau tidak bersedia ya mau bagaimana lagi—pasti beliau bisa mengerti bahwa pengeluaran sebelum tanggal pendirian memang tidak bisa dimasukan ke dalam buku perusahaan. Bagaimana? Mudah bukan? Selamat bekerja. Sukses selalu.

sumber http://jurnalakuntansikeuangan.com/

»»  READMORE...