Pages

Kamis, 07 Juni 2012

Perlakuan Akuntansi PPN: Dasar – Dasar Pajak Pertambahan Nilai


Apakah perlakuan akuntansi PPN itu mudah? Hmm… relatif. Yang jelas ini kombinasi antara mekanisme akuntansi dengan mekanisme pajak pertambahan nilai (PPN). Untuk mahir di wilayah ini, mau tidak mau harus mahir teknikal akuntansi PLUS mahir mekanisme PPN—minimal dasar-dasar pajak pertambahan nilai.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dibandingkan dengan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) misalnya, tergolong sederhana, dalam artian elemen yang terlibat dalam perhitungannya relative lebih sedikit. Apakah perlakuan akuntansi PPN lebih sederhana? Mari kita lihat sama-sama.
Untuk memahami perlakuan akuntansi pajak pertambahan nilai (PPN) dengan baik, sesorang perlu memahami apa itu PPN, bagaimana mekanismenya (mulai dari konsep dasar, perhitungan hingga proses pemungutannya). Untuk itu, sebelum masuk ke topik utama “perlakuan akuntansi pajak pertambahan nilai” ada baiknya jika saya bahas sedikit mengenai dasar-dasar pajak pertambahan nilai.
Saya tahu, sudah banyak pembahasan mengenai PPN diluaran sana—mulai dari PDF Undang-Undang PPN sampai dengan tutorial pengisian blanko Surat Pemberitahuan PPN di blog, terutama di websitenya DJP. Tetapi saya pikir tak ada salahnya jika JAK juga membahas—sekedar untuk menyegarkan ingatan, tentunya dengan segala keterbatasan pribadi penulis.
Jelas sekali tulisan ini saya tujukan untuk teman-teman yang masih belajar seperti saya. Untuk senior-senior, jika berkenan mengoreksi atau mengarahkan, saya akan sangat berterimakasih.

Apa Dasar Hukum Penerapan PPN?

Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Apa itu Pajak Pertambahan Nilai?

Definisi aslinya: “PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.”
Bisa dipahami?
Mengikuti bahasa teknis undang-undang pajak yang formal, bagi sebagian orang, memang membingungkan. Jaman jadi mahasiswa dahulu, saya pribadi juga kesulitan. Setelah lama berlalu, pemahaman saya lumayan meningkat tetapi ingatan saya yang jadi parah—susah untuk mengingat definisi-definisi yang panjang.
Bagaimanapun juga, mungkin bahasa hukum memang harus lengkap (tak boleh menimbulkan pemahaman yang bias.)
Jika saat ini anda masih mengalami kesulitan seperti saya dahulu (semoga saja tidak), saya ingin share 2 tips sederhana untuk memahami konsep dasar PPN dengan lebih mudah, sekaligus akan tetap ingat:
  • Pertama, tidak usah terlalu dipikirkan.
  • Kedua, yang perlu diingat hanya 2 kelompok kata berikut ini: (a) Pertambahan nilai; dan (b) transaksi dagang.
Sehingga setiap kali mendengar atau membaca kata PPN, yang perlu anda ingat hanya 2 itu (“pertambahan nilai” dan “transaksi dagang”). Itu saja dahulu. Kalau perlu hafalkan. Setelah hafal baru coba pahami logikanya. Saya akan bahas logikanya di pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Yuk lanjut…

Transaksi Apa Saja Yang Dikenakan PPN?

Dari penyederhanaan definisi PPN yang sudah anda hafalkan di awal, jawaban atas pertanyaan ini sudah jelas, yaitu: Setiap transaksi penjualan yang didahului oleh pertambahan (mark-up) nilai atau harga, sudah PASTI KENA PPN. Dalam hukum pajak ini disebut “obyek PPN.” Misalnya:
  • Penjualan produk yang dihasilkan oleh perusahaan manufaktur – Bahan baku mengalami kenaikan nilai setelah diolah menjadi barang yang siap dijual. Artinya, sebelum dijual barang tersebut telah mengalami pertambahan nilai terlebih dahulu. Oleh sebab itu maka dikenakan PPN.
  • Penjualan produk oleh perusahaan dagang (mini market misalnya) – Barang jadi yang dibeli oleh minimarket mengalami kenaikan nilai setelah dikemas ulang atau sekedar ditempel sticker lalu dipajang. Artinya, sebelum dijual kembali barang tersebut telah mengalami pertambahan nilai. Oleh karena itu maka dikenakan PPN.
  • Penyerahan jasa oleh perusahaan jasa – Segala pengeluaran yang terjadi dalam proses pembentukan jasa mengalami kenaikan nilai sebelum diserahkan kepada pengguna jasa. Oleh sebab itu maka dikenakan PPN.
  • Dan seterusnya.
Bisa dibilang nyaris semua transaksi jual-beli (dagang) termasuk obyek PPN. Namun demikian ada beberapa barang dan jasa—yang karena alasan tertentu—dikecualikan dari pengenaan PPN.

Barang dan Jasa Apa Saja Yang Tidak Dikenakan PPN?

Sesuai dengan Pasal 4A Undang-Undang No. 18/2000 ada ada beberapa barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN (Bukan obyek PPN), diantaranya:
  • Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
  • Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
  • Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (kecuali: makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga)
  • Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga
  • Jasa di bidang pelayanan kesehatan
  • Jasa di bidang pelayanan sosial (kecuali yang bersifat komersial)
  • Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero)
  • Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi
  • Jasa di bidang keagamaan
  • Jasa di bidang pendidikan
  • Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus
  • Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial
  • Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan
  • Jasa di bidang angkutan umum (pemerintah maupun oleh swasta).
  • Jasa di bidang tenaga kerja
  • Jasa di bidang perhotelan
  • Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
(Untuk daftar lengkap dan detail, silahkan baca undang-undangnya)

Siapa Yang Menanggung dan Siapa Yang Memungut PPN?

Pada dasarnya setiap pajak (apapun jenis pajaknya: PPh, PPN, dll) yang dikenakan oleh pemerintah kepada warganegara (wajib pajak dalam hal ini) adalah atas suatu manfaat atau benefit yang diterima. Sehingga yang wajib menanggung beban pajak sudah pasti mereka yang menerima manfaat (benefit), bukan pihak lain.
Khusus pada PPN, siapa yang menikmati manfaat atas pertambahan nilai yang terjadi? Sudah pasti pengguna barang/jasa yang dihasilkan. Dalam hal ini adalah PEMBELI. Oleh sebab itu pada PPN yang menanggung pajak adalah pembeli.
Tetapi karena alasan tertentu, yang wajib melakukan pemungutan (mewakili pemerintah) dan menyetorkan hasil pemungutan adalah PENJUALApa alasan tertentu itu?
  • Penjual lah yang paling tahu berapa pertambahan nilai yang terjadi atas produk/jasa yang mereka jual.
  • Penjual lah yang paling tahu kapan barang/jasa mereka terjual.
Jika penjual lalai (tidak melakukan) kewajibannya untuk memungut, maka beban PPN harus ditanggung olehnya.

Kapan Kewajiban (Terutang) PPN Terjadi?

Pada prinsipnya, kewajiban PPN terjadi persis saat perpindahan hak atas barang/jasa terjadi (bukan saat pelunasan atau pembayaran). Misalnya: Ada penjualan kredit sebesar Rp 100 pada tanggal 20 Februari 2012. Apakah kewajiban (terutang) PPN otomatis terjadi tanggal 20 Februari?
Untuk penjualan retail biasanya perpindahan hak atas barang terjadi di tempat transaksi saat itu juga, sehingga kewajiban timbul pada tanggal yang sama. Akan berbeda untuk penjualan jarak jauh (antar-pulau misalnya). Karena perpindahan hak biasanya baru terjadi saat barang dikirimkan. Untuk penyederhanaan, biasanya kantor pajak (DJP) menggunakan tanggal nota tagihan (invoice) sebagai patokan, dengan asumsi bahwa perpindahan hak terjadi saat tanggal pengakuan penjualan oleh penjual.

Berapa Besarnya Kewajiban PPN?


PPN Dipungut = Dasar Pengenaan Pajak (DPP) x Tarif
Kewajiban PPN (PPN Terutang) = PPN Dipungut – Kredit Pajak

Catatan:
  • PPN Dipungut = Besarnya PPN yang dipungut oleh penjual kepada konsumen (pembeli)
  • DPP = Nilai nominal penjualan yang tercantum di nota tagihan (invoice)
  • Tarif = 10% (Indonesia menganut sistim tunggal, yaitu 10%. Artinya tak peduli apapun jenis barang dan jasanya (kecuali untuk barang tak kena PPN di atas), berapapun besar nilai penjualannya, tarif yang dikenakan tetap 10%.
  • Kewajiban PPN (PPN Terutang) = Besarnya PPN yang disetorkan ke Kas Negara, sering disebut dengan istilah “PPN Terutang”.
  • Kredit Pajak = Total nilai nominal Faktur Pajak Masukan (FPM) pada periode pelaporan
Atas PPN Dipungut, penjual mengeluarkan Faktur Pajak Keluaran (FPK). Karena kredit pajak sama dengan FPM, maka kewajiban pajak sering dirumuskan dengan: FPK – FPM.
Contoh perhitungan:
PT. JAK, grossir, sudah PKP, membeli snack sebesar Rp 50. Atas pembelian snack tersebut PT. JAK menerima Faktur Pajak Masukan sebesar Rp 5. Snack tersebut di pasangi label harga Rp 100. Jika snack itu laku semua, maka atas penjualan snack PT. JAK memungut pajak kepada konsumen (pembelinya) sebesar:
  • PPN Dipungut = DPP x Tarif = Rp 100 x 10% = Rp 10. (FPK Diterbitkan)
  • Kewajiban PPN (PPN Disetor) = PPN Dipungut – Kredit pajak = 10 – 5 = Rp 5
Sampai di sini, dasar-dasar pajak pertambahan nilai sudah habis (mengenai PPnBM saya akan bahas secara terpisah.) Akan tetapi, rasanya masih ada yang mengganjal.
Ada satu hal yang mungkin jarang dipertanyakan sehingga jarang dibahas, padahal menurut saya sangat penting dan mendasar. Sebuah pertanyaan sederhana yang bisa jadi bisa memberikan pemahaman kosep PPN dalam gambar besar, yaitu: “Mengapa harus pajak pertambahan nilai?”  Jika tertarik, monggo dilanjutkan…

Mengapa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?

Mengapa mesti pajak “pertambahan nilai”? Mengapa tidak disebut pajak “perdagangan” saja? Atau pajak pajak “penjualan” mungkin? Ah bikin rumit saja.
Ada 2 hal yang menjadi dasar pertimbangan mengapa pemerintah mengenakan “pajak pertambahan nilai” atas barang dan jasa yang diperdagangkan—dan bukan “pajak perdagangan” atau lainnya. Dua konsep tersebut tak jauh-jauh dari 2 kelompok kata yang sudah saya sampaikan di awal, yaitu:
1. Komoditi Barang Dagangan Terdistribusi Secara Bertahap - Dalam rantai perdagangan, terutama barang, sebagian besar barang dagangan (atau komoditi) terdistribusi secara bertahap—dari hulu hingga hilir—dengan melewati perusahaan (wajib pajak) berbeda-beda di sepanjang alur.Misalnya: coba lihat kemeja yang anda pakai saat ini, apakah tiba-tiba langsung jadi baju? Sudah pasti tidak, bukan?. (Prosesnya seperti bagan dibawah ini)
2. Jangan Sampai Terjadi apa yang disebut dengan “Pajak Berganda” (satu obyek dipajaki 2x atau lebih) – Produk, dari hulu (kapas) hingga akhir (pakaian jadi) sesungguhnya mengalami beberapa tahapan pertambahan nilai mengikuti alur distribusi (penyebaran) barang dagangan itu sendiri. Perhatikan bagan di bawah:

Jika kita perhatikan bagan di atas, jelas terlihat, bahwa:
Atas seluruh “pertambahan nilai” dari hilir hingga hulu (ujung atas  s/d ujung bawah), pemerintah hanya mengenakan pajak pada “pertambahan nilai” nya saja. Pada bagan di atas (dari kapas hingga menjadi pakaian jadi), barang yang diperdagangkan telah mengalami pertambahan nilai sebesar Rp 300 secara keseluruhan. Sehingga total PPN yang dikenakan oleh pemerintah hanya sebesar Rp 30 saja (=10% x Rp 300)
Tetapi, untuk penyederhanaan pemungutan dilakukan di setiap tahapan proses pertambahan nilai. Tidak sekaligus di akhir proses. Nah, agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda, maka besaran nilai “pajak terutang” di masing-masing tahapan adalah “Faktur Pajak Keluaran (FPK)” –  ”Faktur Pajak Masukan (FPM).” Dengan kata lain, besarnya PPN yang disetorkan ke kas negara hanya sebesar total PPN yang dipungut dari konsumen untuk periode tertentu (bulan Februari 2012 misalnya), setelah dikurangi total nilai kredit pajak yang diperoleh dari membeli barang (entah itu bahan baku, bahan penolong, peralatan, atau barang jadi) di periode yang sama.
Itulah 2 hal yang menjadi landasan pertimbangan mengapa pajak pertambahan nilai. Dan itulah konsep PPN secara keseluruhan, yang saya ringkas menjadi satu bagan sederhana. Mudah-mudahan cukup menjelaskan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar